Minggu, 21 Juni 2015

INTERRELASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK POLITIK



INTERRELASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK POLITIK

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.



Disusun oleh :
Siti Mukholifatul Umroh          (133511048)
Maya masitha safitri                 (1335110..)
Laeli Muamalati                        (1335110..)
Uswatun Khasanah                  (1335110..)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama yang universal  (rahmatan lil alamin) memiliki sifat adaptable yang tumbuh disegala tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh lokalitas dan tradisi, kelompok, suku bangsa, diakui atau tidak sulit dihindari dalam kehidupan masyarakat muslim. Namun demikian sekalipun berhadapan dengan budaya lokal didunia, keuniversalan islam tidak akan batal. Satu kebudayaan daerah yang cukup berpengaruh di Indonesia adalah kebudayaan Jawa, yang telah ada sejak zaman prasejarah. Kedatangan Hindu dan budayanya di Jawa, berkembanglah hindu-jawa. Demikian pula dengan masuknya islam.
Hubungan antara islam dan budaya Jawa dapat dikaitkan sebagai dua sisi yang tidak terpisahkan. Pada satu sisi, islam yang datang dan berkembang di Jawa dipengaruhi oleh kultur atau budaya Jawa. Sementara itu pada sisi lain, budaya Jawa makin diperkaya oleh khazanah islam. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya menampakkan ciri khas sebagai budaya yang sinkretis.
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang  yang termaktub dalam pendahuluan di atas penyusun mencoba untuk menguraikan beberapa rumusan masalah berikut :
1.    Bagaimana sistem politik budaya Jawa?
2.    Bagaimana akulturasi budaya Jawa dan Islam?
3.    Bagaimana interrelasi budaya Jawa dan Islam dalam aspek politik?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  SISTEM POLITIK BUDAYA JAWA
Orang jawa atau javanese menurut Franz Magnis Suseno adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau jawa.[1] Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan.[2]
Hubungan kemasyarakatan jawa kuno masih cenderung menggunakan adat kaum Hindu-Budha. Dalam buku Konsep Kepemimpinan Jawa karya Suyami, menerangkan bahwa ada hubungan resiprositas struktur masyarakat jawa yang terdiri dari Raja, negara dan rakyat. Sedangkan menurut H. Burger dalam bukunya perubahan-perubahan struktur dalam masyarakat Jawa dibagi atas empat tingkatan, yaitu para raja, bupati, kepala desa, dan rakyat jelata.[3] Menurut doktrin atau konsep kekuasaan jawa, raja merupakan penguasa yang mutlak yang mempunyai tanggung jawab yang besar sebagai pengimbangnya. Dari hal itulah mengapa masyarakat jawa memilih pemimpin bukan atas dasar pilihan rasioanal, melainkan bersifat emosional, yang berarti kharisma lebih penting dari pada kemampuan.
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia menyatakan bahwa dalam kenyataan hidup orang Jawa umumnya, orang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya, disamping keluarga keraton dan keturunan bangsa atau bendara-bendara. Dalam rangka susunan masyarakatnya, cara bertindak yang berdasarkan atas gengsi-gengsi itu, kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah.
Kemudian menurut kriteria pemilik agamanya, orang Jawa biasanya membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah orang-orang yang percaya pada ajaran agama islam, akan tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari ajaran agama islam itu, misalnya tidak sholat, tidak pernah puasa, tik bercita-cita untuk melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar, didalam susunan masyarakat Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan kejawen.
Sistem penggolongan-penggolongan tersebut, selanjutnya menimbulkan hak dan kewajiban yang berbeda dari keluarga-keluarga tiap-tiap lapisan itu. Secara administrasi, suau desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh lurah. Sekelompok dari 15 sampai 25 desa merupakan suatu kesatuan administratif yang disebut kecamatan dan dikepalai oleh seorang pegawai pamong praja yang disebut camat.[4]
Berbicara  tentang sistem masyarakat jawa berarti juga berbicara tentang harmonitas sosial dalam budaya jawa. Berarti berbicara juga mengenai sikap hidup orang jawa. Orang jawa adalah orang yang religius. Sejarah membuktikan bahwa sejak sebelum islam datang ke Jawa, mereka sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap agama. Hampir setiap kerajaan selalu meninggalkan tempat-tempat pemujaan, misalnya candi prambanan, dan lain-lain. Pada zaman kerajaan islam dibangun tempat-tenpat ibadah (masjid) yang sampai saat ini masih dapat dilihat misalnya Masjid Demak, Cirebon, dan lain-lain. Semua itu menjadi bukti bahwa orang Jawa termasuk orang yang memiliki perhatian besar terhadap agama.[5]
Dalam hal adat-istiadat, orang Jawa selalu taat terhadap warisan nenek moyangnya, selalu mementingkan kepentinga umum atau masyarakatnya daripada kepentingan pribadinya. Orang jawa mempunyai sikap hidup feodalis, mereka sangat hormat terhadap keluarga kerajaan atau keraton yang masih bisa dirasakan pada saat ini di lingkungan pemerintahan Daerah istimewa Yogyakarta. farnz margin suseno menyatakan bahwa sikap hidup orang jawa sangat menekankan aspek keturunan, hormat dan keselarasan sosial.[6] Sehingga bisa dikatakan bahwa sistem politik yang adil itu tidak berlaku di budaya jawa.

B.  AKULTURASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM
Ketika islam datang ke Jawa untuk pertama kalinya, tidak langsung diterima oleh masyarakat jawa dengan lapang dada. Mayoritas masyarakat jawa saat itu yang masih berpegang teguh pada kepercayaan animisme dan dinamisme serta agama hindu dan budha. Tugas para muballigh yang menyebarkan islam di jawa pun harus mampu mengkombinasi islam dengan kultur jawa atau yang disebut dengan Islamisasi kultur jawa. Dimana pada saat itulah Walisongo yang menjadi  peran utama dalam proses islamisasi kultur jawa.
Contoh islamisasi kultur jawa yang dapat dijumpai sampai sekarang adalah selametan. Selametan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan.[7]

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hadits adalah segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya, yang tidak hanya disandarkan kepada nabi dan sabahat, melainkan juga disandarkan kepada tabi’in.. Menurut ulama ushul yang dikatakan hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Dengan demikian, pengertian hadits menurut ulama ushul lebih sempit dibanding dengan pengertian hadits menurut ulama hadits.
Sinonim dari hadits yaitu sunnah, khabar, dan atsar. Sunnah adalah segala yang disandarkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir dan sifat-sifat beliau  Khabar adalah segala yang datang dari Nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya. Dan atsar adalah segala perkataan-perkataan yang datang dari sahabat dan tabi’in meskipun terkadang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Secara garis besar hadits, sunnah, khabar dan atsra itu adalah sama, yaitu sama-sama disandarkan kepada Nabi SAW. sedangkan perbedaan hadits dan sinonimnya itu hanya terletak pada aspeknya, yang kemudian diperluas dari segi sumber, materi, hingga muatannya. Dalam konteks ini, mayoritas ulama hadis menganggap, bahwa distingsi hadits, sunnah, khabar, dan atsar sebenarnya hanya bersifat teoritis, dan tidak menjadi persoalan mendasar, sebab semua istilah ini dalam perspektif yang lebih luas tetap saja dimaknai sebagai sesuatu yang bersumber dari dan disandarkan kepada Nabi saw.

B.  Kritik dan Saran
Demikianlah makalah makalah yang dapat saya susun. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat saya harapkan untuk kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penyusun pada khususnya.


DAFTAR PUSTAKA


Adhlan, Ahmad. Ushul Fiqh. Jakarta, 2010
Amiruddin, Zen. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Penerbit TERAS,2009
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: AMZAH, 2009

Kallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Quwait: Darul Qalam, 1997
Karim, Syafi’i. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani, 2003
Praja, Juhaya S., ilmu ushul fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Shidiq, Sapiudin. Ushul fiqh. Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010
Tim penyusun Mkd. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN SA Press, 2011
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011






[1] Franz Margin Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2003), hlm. 11.
[2] Abdul Djamil, islam indonesia abad sembilan belas, (Semarang: IAIN Walisongo, 1996), hlm.4.
[3] Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka zaman, 2013), hlm. 78
[4] Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta:Jambatan, 2002), hlm.344-346.
[5] Abdul munir Mukhan, Kebatinan dan Dakwah terhadap Orang Jawa, (Yogyakarta: persatuan, 1984), hlm. 139.
[6] Franz Margin Suseno, Etika Jawa,..., hlm. 39.
[7] Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia, ..., hlm.347.

0 komentar:

Posting Komentar